![]() |
Alex Marquez dan Marquez Marquez di Sirkuit TT Assen pada 28 Juni 2025 di Assen, Belanda. © Gold & Goose Photography/Getty Images |
Marc Marquez menang Sprint GP Belanda, tapi alih-alih disambut dengan tepuk tangan penuh hormat, media sosial malah seperti habis dilempar bom keyboard warrior. Bukan soal kemenangan Marc, tapi soal kenapa adik kandungnya sendiri — Alex Marquez — tidak “menyerang” sang juara dunia enam kali dengan gaya "kakak, minggir dulu dong."
Ya, internet memang tempat paling ahli dalam membuat gosip jadi gospel. Padahal, faktanya? Sprint itu berlangsung ketat. Alex sampai nyaris ngesot depan ban belakang kakaknya. Tapi, seperti biasa, kalau nggak ada senggolan dramatis, netizen bilang: “Nggak niat balapan!”
Mari kita bahas kenapa drama ini lebih panas dari ban belakang Ducati di Mugello.
Sprint 13 lap: duel Marquez bersaudara yang terlalu bersih?
Sprint MotoGP Belanda di Assen berlangsung padat. 13 lap, kecepatan gila, dan satu nama yang muncul sebagai pemenang: Marc Marquez. Sang kakak tampil klasik—teknikal, sabar, dan licik dalam bertahan. Tapi yang bikin heboh bukan kemenangannya, tapi penampilan adiknya, Alex Marquez, yang nyaris mencium knalpot Marc tapi... yaudah gitu, nyaris aja.
Publik langsung berteriak: "Mana serangannya? Kenapa dia nggak nyoba ambil dalam? Kok kaya latihan bebas?"
Padahal Alex lebih cepat di beberapa sektor. Tapi Assen itu bukan Monas. Trek sempit, salah tikung, boro-boro podium, baju balap bisa jadi sobek kayak hati netizen ditinggal gebetan.
Minggu: Marc Marquez menang lagi, Bezzecchi cuma bisa ngekor
Hari Minggu, Marc lagi-lagi tampil seperti pembalap yang lahir dengan GPS tertanam di helm. Sejak lap 8 sampai akhir, dia memimpin balapan kayak sopir TransJakarta di jalur khusus—nggak ada yang boleh nyalip.
Marco Bezzecchi yang jadi runner-up hanya bisa ngintilin di jarak aman 1,5 detik. Pecco Bagnaia? Dia ada di podium juga, tapi bukan lawan berarti buat Marc kali ini.
Buat yang mikir balapan hari Minggu bisa jadi pembuktian Alex, sayangnya tidak. Kenapa? Karena nasib berkata lain, seperti biasa di MotoGP.
Alex Marquez jatuh, jari patah, langsung operasi
Drama Alex belum selesai di Sprint. Di lap ke-6 pada balapan utama, saat lagi bertarung lawan Pedro Acosta rebutan posisi keempat, Alex jatuh. Bukan jatuh cinta, ini jatuh beneran—ke aspal. Hasilnya: jari patah dan langsung terbang ke Madrid malam itu juga buat operasi.
Jadi kalau kemarin dia dibilang nggak niat nyalip kakaknya, sekarang netizen bisa tidur nyenyak karena "karma" datang terlalu cepat. Meski sejujurnya, yang nyinyir di medsos mungkin nggak akan pernah bisa ngerasain rasanya belok di 250 km/jam sambil mikir rem depan masih ada atau nggak.
Marc Marquez angkat suara: “Tolong, hormati semua pembalap”
Marc akhirnya buka suara di konferensi pers. Duduk bareng Bezzecchi dan Bagnaia, wajahnya serius, nada bicaranya keras.
“Saya ingin meminta Anda untuk menghormati semua pembalap,” katanya, dengan nada seperti guru BP yang udah capek nangani anak-anak berisik di kelas.
Dia mengaku kesal karena media dan netizen terus menyeret hubungan saudaranya ke dalam balapan. “Kemarin saya ditanya apakah Alex tidak menyerang saya. Bahkan mekanik saya bilang obrolan itu ramai banget di media sosial,” katanya.
Dan dengan nada menusuk, Marc menambahkan: “Hari ini Marco juga tidak menyerang saya. Kenapa? Karena di trek seperti ini, Anda tidak bisa sembarangan menyerang pembalap di depan. Kemarin saya bertahan dari Alex, hari ini saya bertahan dari Marco. Sama saja.”
Drama keluarga di paddock? Tenang, ini bukan sinetron Indosiar
Isu tentang “drama keluarga Marquez” seolah nggak pernah berhenti. Tapi mari jujur: kalau kamu adik yang tahu kakakmu pegang rekor 6 kali juara dunia, kamu bakal nekad nyalip juga? Apalagi kalau di sisi lain, satu gerakan bodoh bisa bikin dua motor Gresini terbang keluar lintasan.
Marc tahu betul bahwa hubungannya dengan Alex sering dijadikan bahan spekulasi. Dan kalau satu tikungan di Assen dijadikan bukti bahwa Alex “mengalah,” itu artinya banyak penonton yang lupa bahwa ini balapan, bukan kontes dorong-dorongan pakai ego.
Fakta menyakitkan: semua pembalap MotoGP ingin menang
Marc Marquez mengatakan sesuatu yang sebenarnya sangat masuk akal, tapi sering dilupakan:
“Semua pembalap ingin menang. Tapi masalahnya hanya satu yang bisa melakukannya.”
Itu bukan kalimat indah dari film biopik. Itu realita di paddock. Di atas motor, mereka semua pembunuh berdarah dingin—dengan helm dan sarung tangan, tentu saja.
Alex bukan pembalap kelas dua. Dia sudah menang di kelas Moto2, dia bisa menang di MotoGP, dan dia tahu apa yang harus dilakukan. Tapi waktu, tempat, dan kondisi sering kali tidak berpihak. Dan ketika orang yang dia lawan adalah kakaknya sendiri, publik seakan menuntut satu hal: bikin crash, baru puas.
Apa selanjutnya? Balik latihan, operasi, lalu... balas dendam?
Alex Marquez harus menjalani operasi jari malam itu juga di Madrid. Tapi seperti semua pembalap MotoGP sejati, dia pasti bakal balik. Mungkin dua minggu lagi dia udah ngetes motor pakai selotip di jari, dan bilang, “Saya siap.” MotoGP memang ajang kejam, tapi pembalap-pembalapnya jauh lebih keras kepala daripada netizen Twitter.
Sementara itu, Marc Marquez sedang menikmati masa-masa terbaiknya sejak bangkit dari cedera berkepanjangan. Dia memimpin klasemen, menang Sprint, dan tetap jadi pembalap paling berbahaya di grid—bahkan di umur 30-an.